Kamis, 21 Februari 2013

BUDAYA TINGKEPAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL


PENDAHULUAN


Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu. Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan diranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karna memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran diseluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya. Sebagaimana Gunungkidul sebagai sebuah peradaban pesisir Jawa yang dihinggapi Islam dalam proses penyebarannya. Tak heran kemudian beberapa kebudayaan yang kemudian tercampur bahkan bergeser yang semula ke Hindu-Hinduan sekarang bergeser lebih kepada Islam seagai sebuah ajaran yang membumi dan kontekstual pada kebudayaan sekitar. Seperti manganan, sesajen, meminang dan ritual-ritual lain seperti sedekah laut dan upacara kehamilan seperti tingkepan di Gunungkidul dan yang akan kita bahas pada halaman selanjutnya adalah tingkepan dalam tradisi masyarakat Gunungkidul.




Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara, terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian dari Majapahit. Desa tersebut adalah Pongangan, yang dipimpin oleh R. Dewa Katong saudara raja Brawijaya. Setelah R Dewa Katong pindah ke desa Katongan 10 km utara Pongangan, puteranya yang bernama R. Suromejo membangun desa Pongangan, sehingga semakin lama semakin rama. Beberapa waktu kemudian, R. Suromejo pindah ke Karangmojo.

Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung Prawiropekso menasehati R. Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram, karena daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.

R. Suromejo tidak mau, dan akhirnya terjadilah peperangan yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo yang merupakan anak R Suromejo akhirnya menyerahkan diri, oleh Pangeran Sambernyowo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I. Namun Bupati Mas Tumenggung Pontjodirjo tidak lama menjabat karena adanya penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831. Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.

Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko, yang mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari.

Menurut Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya ”Peprentahan Praja Kejawen” yang dikuatkan buku de Vorstenlanden terbitan 1931 tulisan G.P Rouffaer, dan pendapat B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk, berdirinya Gunungkidul (daerah administrasi) tahun 1831 setahun seusai Perang Diponegoro, bersamaan dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta. Disebutkan bahwa”Goenoengkidoel, wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti maosan dalem sami kaliyan Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem. Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel. Siti maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati Wedono Distrik Pamadjegan Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng distrik ingkang kaparingan sesebatan Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”

Dan oleh upaya yang dilakukan panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul tahun 1984 baik yang terungkap melalui fakta sejarah, penelitian, pengumpulan data dari tokoh masyarakat, pakar serta daftar kepustakaan yang ada, akhirnya ditetapkan bahwa Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.

Sedangkan secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.

Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.

Itulah tonggak sejarah Kabupaten Gunungkidul berbicara.

Bupati yang pernah memimpin Kabupaten Gunungkidul antara lain :
1. Mas Tumenggung Pontjodirjo
2. Raden Tumenggung Prawirosetiko
3. Raden Tumenggung Suryokusumo
4. Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5. Raden Tumenggung Padmonegoro
6. Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7. Raden Tumenggung Mertodiningrat
8. KRT.Yudodiningrat
9. KRT.Pringgodiningrat
10. KRT.Djojodiningrat
11. KRT.Mertodiningrat
12. KRT.Dirjodiningrat
13. KRT.Tirtodiningrat
14. KRT.Suryaningrat
15. KRT.Labaningrat
16. KRT.Brataningrat
17. KRT.Wiraningrat
18. Prawirosuwignyo
19. KRT.Djojodiningrat,BA
20. Ir.Raden Darmakun Darmokusumo
21. Drs.KRT.Sosrodiningrat
22. Ir.Soebekti Soenarto
23. KRT.Harsodingrat,BA
24. Drs.KRT.Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25. Suharto,SH
26. Prof.Dr Ir Sumpeno Putro, MSc
27. Hj Badingah SSos (Bupati saat ini)


UPACARA TINGKEPAN
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama. Kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf. Pembacaan Al-Quran (Surat Maryam dan Yusuf) mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang dilahirkan akan memilki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. selain itu juga ada semacam bacaan lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti Barzanji atau Berjanjenan dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab Barzanji, yaitu pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW. Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).

PROSESI TINGKEBAN, KALANGAN MASYARAKAT MENENGAH KE BAWAH
Kesederhanaan upacara ini dapat dilihat dari prosesinya yang sederhana. Pertama, Pak Modin (di Jogja istilahnya Kaum) maksud dan tujuan upacara sesuai dengan pesanan yang punya hajat, atau shahibul hajat. Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah dan al-ikhlas sebanyak tiga kali, surat al-alaq dan surat an-Nas masing-masing sekali. Selanjutnya seluruh peserta upacara membaca Surat Maryam dan Surat Yusuf masing-masing sekali. Seluruh kegiatan bacaan ini menghabiskan waktu sekitar 30-45 menit. Keudian acar dilanjutkan dengan barzanji. Pak Modin dengan suara yang khas dengan lagu atau nada-nada membaca shalawatan, yang dilanjutkan dengan bacaan syair-syair barzanji, yang berisi silsilah nabi dan sejarah nabi, dan ditutup dengan bacaan sifat-siafat nabi. Acara ini ditutup dengan doayang dipimipin oleh Pak atau Mbah Modin. Seluruh bahan mulai dari tumpeng, takir, cengkir (kelapa muda) dan lain-lain ditempatkan ditengah-tengah dan dibagikan kepada peserta secara merata selanjutnya dimasukan ke dalam tas kresek (plastik besar) yang berisi berkat . Sebagai pertanda akan pulang, maka mabah Modin mengucapkan bacaan Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad . Sembari bersalaman dengan tuan rumah, mereka mengatakan; kabul kajate (semoga hajat.keinginannya tercapai).



PROSESI TINGKEBAN, KALANGAN ELITE MASYARAKAT
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara dimulaia pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua.tanpa sepatah kata pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua, dan orang tua mengeluspundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian oleh suaminya.cengkir itu pun dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir tadi tidak pecaha maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng. Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam dan Yusuf dan dilanjutkan dengan dzibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upcara rumit seperti itu biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.


ANALISIS



Mulai dari pertama, bermacam-macam bahan yang dipersiapkan untuk melakukan ritual upacara tingkepan ini sangat bermacama-macam jenis. Mulai dari janur, polo pendem, cengkir, kembang tujuh rupa, dawet dan lain sebagainya, menjadikan penasaran dan alasan untuk mengetahui secara detail apa sebenarnya yang diinginkan dan diharpkan akan semua itu. Menurut analisis yang penulis ketahui dan beberapa sumber referensi bahwa;

Pada catatan di atas bahwa tingkepan didominasi oleh jumlah angka dua dan tujuh. Angka dua melambangkan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan, yang salah satunya akan dilahirkan. Sedangkan angka tujuh melambangkan usia kandungan si jabang bayi. Tidak hanya itu punar dan polopendem melambangkan hasil bumi, selain itu bucu melambangkan cita-cita yang tinggi dan luhur yang digantungkan setinggi langit. Kembang setaman atau kembang tujuh rupa melambangkan suka cita atau juga masa kehamilan, sedangkan bagi orang kaya seperti mandi tujuh kali, ganti baju tujuh kali merupakan lambang masa kehamilan yakni ketujuh bulan. Dawet melambangkan rezeki yang melimpah dan dan uang pecahan genting melambangkan jenis koin emas yang berwarna menyala. Selanjutnya bubur putih merah melambangkan sperma laki-laki dan darah perempuan yang telah menyatu. Sedangkan kelapa muda melambangkan CengKir (kencenge pikir) atau keteguhan cita. 

Seluruh rangkaian upacara di atas diharapkan sekaligus terkait dengan masa krusial yang dihadapi oleh bayi, yaitu saat menerima catatan amal dan garis nasibnya, apakah bahagia atau sengsara. Jadi melalui upacara tingkepan tersebut diharapkan bahwa bayi yang dilahirkan akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat bukan kesengsaraan.

 DAFTAR PUSTAKA
 Syam, Nur, Dr. 2005, Islam Pesisir, LkiS, Yogyakarta,-
 http://www.gunungkidulkab.go.id
http://kenesiakadhy.blogspot.com

 Geertz, Cliford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa;-