PENDAHULUAN
Istilah
tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa
sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi,
dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak
menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya
tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan
keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya
pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja
terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk
ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi
diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat.
Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga
dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan
norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu
kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses
kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai
pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu. Artinya,
munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan diranah
interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek
kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana
masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan
serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karna memang Islam hadir
merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran diseluruh jagad raya ini. Tak
jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan
konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan
sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai
sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat
sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya. Sebagaimana
Gunungkidul sebagai sebuah peradaban pesisir Jawa yang dihinggapi Islam dalam
proses penyebarannya. Tak heran kemudian beberapa kebudayaan yang kemudian
tercampur bahkan bergeser yang semula ke Hindu-Hinduan sekarang bergeser lebih
kepada Islam seagai sebuah ajaran yang membumi dan kontekstual pada kebudayaan
sekitar. Seperti manganan, sesajen, meminang dan ritual-ritual lain seperti
sedekah laut dan upacara kehamilan seperti tingkepan di Gunungkidul dan yang
akan kita bahas pada halaman selanjutnya adalah tingkepan dalam tradisi
masyarakat Gunungkidul.
Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara,
terdapat suatu desa yang dihuni beberapa orang pelarian dari Majapahit. Desa
tersebut adalah Pongangan, yang dipimpin oleh R. Dewa Katong saudara raja
Brawijaya. Setelah R Dewa Katong pindah ke desa Katongan 10 km utara Pongangan,
puteranya yang bernama R. Suromejo membangun desa Pongangan, sehingga semakin
lama semakin rama. Beberapa waktu kemudian, R. Suromejo pindah ke Karangmojo.
Perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul itu didengar
oleh raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro.
Kemudian ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan
kebenaran berita tersebut. Setelah dinyatakan kebenarannya, Tumenggung
Prawiropekso menasehati R. Suromejo agar meminta ijin pada raja Mataram, karena
daerah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.
R. Suromejo tidak mau, dan akhirnya terjadilah peperangan
yang mengakibatkan dia tewas. Begitu juga 2 anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo
yang merupakan anak R Suromejo akhirnya menyerahkan diri, oleh Pangeran
Sambernyowo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I. Namun Bupati Mas Tumenggung
Pontjodirjo tidak lama menjabat karena adanya penentuan batas-batas daerah
Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831.
Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) menjadi
kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.
Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko,
yang mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari.
Menurut Mr R.M Suryodiningrat dalam bukunya ”Peprentahan
Praja Kejawen” yang dikuatkan buku de Vorstenlanden terbitan
1931 tulisan G.P Rouffaer, dan pendapat B.M.Mr.A.K Pringgodigdo dalam bukunya Onstaan
En Groei van het Mangkoenegorosche Rijk, berdirinya Gunungkidul
(daerah administrasi) tahun 1831 setahun seusai Perang Diponegoro, bersamaan
dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta. Disebutkan bahwa”Goenoengkidoel,
wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti maosan dalem sami kaliyan
Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem. Ing tahoen 1831
Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen
perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon
satoenggal-satoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan
sesebatan Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan
serta Bantoel. Siti maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati
Wedono Distrik Pamadjegan Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng
distrik ingkang kaparingan sesebatan Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti
maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”
Dan oleh upaya yang dilakukan panitia untuk melacak Hari Jadi
Kabupaten Gunungkidul tahun 1984 baik yang terungkap melalui fakta sejarah,
penelitian, pengumpulan data dari tokoh masyarakat, pakar serta daftar
kepustakaan yang ada, akhirnya ditetapkan bahwa Kabupaten Gunungkidul dengan
Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan
dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No :
70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi
Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro
Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.
Sedangkan secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul
sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15
Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun
1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.
Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun
prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan
bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA
MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun
1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.
Itulah tonggak sejarah Kabupaten Gunungkidul berbicara.
Bupati yang pernah memimpin Kabupaten Gunungkidul antara
lain :
1. Mas Tumenggung Pontjodirjo
2. Raden Tumenggung Prawirosetiko
3. Raden Tumenggung Suryokusumo
4. Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5. Raden Tumenggung Padmonegoro
6. Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7. Raden Tumenggung Mertodiningrat
8. KRT.Yudodiningrat
9. KRT.Pringgodiningrat
10. KRT.Djojodiningrat
11. KRT.Mertodiningrat
12. KRT.Dirjodiningrat
13. KRT.Tirtodiningrat
14. KRT.Suryaningrat
15. KRT.Labaningrat
16. KRT.Brataningrat
17. KRT.Wiraningrat
18. Prawirosuwignyo
19. KRT.Djojodiningrat,BA
20. Ir.Raden Darmakun Darmokusumo
21. Drs.KRT.Sosrodiningrat
22. Ir.Soebekti Soenarto
23. KRT.Harsodingrat,BA
24. Drs.KRT.Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25. Suharto,SH
26. Prof.Dr Ir Sumpeno Putro, MSc
27. Hj Badingah SSos (Bupati saat ini)
UPACARA
TINGKEPAN
Tingkepan
merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara
kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan upacara utama sehingga seringkali
dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama. Kehamilan kedua, ketiga
dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Yang penting
di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf. Pembacaan
Al-Quran (Surat Maryam dan Yusuf) mangandung makna permintaan. Surat Maryam
mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang
dilahirkan akan memilki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf
dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan
menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. selain itu juga ada semacam bacaan lain yang
harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti Barzanji atau Berjanjenan dengan
harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur
sebagaimana isi kandungan kitab Barzanji, yaitu pujian terhadap akhlakul
karimah Nabi Muhammad SAW. Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan
ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya
dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang
petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan
melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur
dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun
pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi
nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua
iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris,
brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak
beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu
pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu
lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales,
ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari
bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang
melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini
disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua
kelapa muda (cengkir).
PROSESI
TINGKEBAN, KALANGAN MASYARAKAT MENENGAH KE BAWAH
Kesederhanaan
upacara ini dapat dilihat dari prosesinya yang sederhana. Pertama, Pak Modin
(di Jogja istilahnya Kaum) maksud dan tujuan upacara sesuai dengan pesanan yang
punya hajat, atau shahibul hajat. Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah
dan al-ikhlas sebanyak tiga kali, surat al-alaq dan surat an-Nas masing-masing
sekali. Selanjutnya seluruh peserta upacara membaca Surat Maryam dan Surat
Yusuf masing-masing sekali. Seluruh kegiatan bacaan ini menghabiskan waktu
sekitar 30-45 menit. Keudian acar dilanjutkan dengan barzanji. Pak Modin dengan
suara yang khas dengan lagu atau nada-nada membaca shalawatan, yang dilanjutkan
dengan bacaan syair-syair barzanji, yang berisi silsilah nabi dan sejarah nabi,
dan ditutup dengan bacaan sifat-siafat nabi. Acara ini ditutup dengan doayang
dipimipin oleh Pak atau Mbah Modin. Seluruh bahan mulai dari tumpeng, takir,
cengkir (kelapa muda) dan lain-lain ditempatkan ditengah-tengah dan dibagikan
kepada peserta secara merata selanjutnya dimasukan ke dalam tas kresek (plastik
besar) yang berisi berkat . Sebagai pertanda akan pulang, maka mabah Modin
mengucapkan bacaan Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad . Sembari
bersalaman dengan tuan rumah, mereka
mengatakan; kabul kajate (semoga hajat.keinginannya tercapai).
PROSESI
TINGKEBAN, KALANGAN ELITE MASYARAKAT
Bagi orang kaya,
upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini
menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara
dimulaia pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara
selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu
dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara
berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua.tanpa sepatah kata
pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua,
dan orang tua mengeluspundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai.
Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara
sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari
kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan
dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua,
selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan
sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan
dengan memasukan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian oleh suaminya.cengkir
itu pun dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir pecah menandakan bayi yang akan
dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir tadi tidak pecaha maka bayi
yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian
kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng. Kemudian malam
harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam dan Yusuf
dan dilanjutkan dengan dzibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang
kaya, yang tidak menggunakan prosesi upcara rumit seperti itu biasanya cukup
mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul
hamli atau perayaan kehamilan.
ANALISIS
Mulai dari
pertama, bermacam-macam bahan yang dipersiapkan untuk melakukan ritual upacara tingkepan
ini sangat bermacama-macam jenis. Mulai dari janur, polo pendem, cengkir,
kembang tujuh rupa, dawet dan lain sebagainya, menjadikan penasaran dan alasan
untuk mengetahui secara detail apa sebenarnya yang diinginkan dan diharpkan
akan semua itu. Menurut analisis yang penulis ketahui dan beberapa sumber
referensi bahwa;
Pada catatan di atas bahwa tingkepan didominasi
oleh jumlah angka dua dan tujuh. Angka dua melambangkan dua jenis kelamin yakni
laki-laki dan perempuan, yang salah satunya akan dilahirkan. Sedangkan angka
tujuh melambangkan usia kandungan si jabang bayi. Tidak hanya itu punar dan
polopendem melambangkan hasil bumi, selain itu bucu melambangkan cita-cita yang
tinggi dan luhur yang digantungkan setinggi langit. Kembang setaman atau kembang
tujuh rupa melambangkan suka cita atau juga masa kehamilan, sedangkan bagi
orang kaya seperti mandi tujuh kali, ganti baju tujuh kali merupakan lambang
masa kehamilan yakni ketujuh bulan. Dawet melambangkan rezeki yang melimpah dan
dan uang pecahan genting melambangkan jenis koin emas yang berwarna menyala.
Selanjutnya bubur putih merah melambangkan sperma laki-laki dan darah perempuan
yang telah menyatu. Sedangkan kelapa muda melambangkan CengKir (kencenge pikir)
atau keteguhan cita.
Seluruh rangkaian
upacara di atas diharapkan sekaligus terkait dengan masa krusial yang dihadapi
oleh bayi, yaitu saat menerima catatan amal dan garis nasibnya, apakah bahagia
atau sengsara. Jadi melalui upacara tingkepan tersebut diharapkan bahwa bayi
yang dilahirkan akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat bukan kesengsaraan.
Syam, Nur, Dr. 2005,
Islam Pesisir, LkiS, Yogyakarta,-
Geertz,
Cliford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa;-